Festival Lima Gunung; Pesta Adiluhung Orang-orang Gunung

Malam telah berangsur dini hari di dusun kecil di Lereng Gunung Merbabu itu. Dalam terpaan udara gunung yang dingin, sejumlah orang tampak masih duduk bergerombol sambil berbincang dan sesekali tertawa di rumah Kepala Dusun Keron, Magelang. Mungkin sudah 3-4 jam mereka berbincang di sana.

“Minumnya tambah lagi, Pak, Mas, Mbak? Teh atau kopi?” tawar salah seorang penghuni rumah dengan ramah kepada tamu-tamunya yang hingga dini hari itu masih renyah bercengkerama, Sabtu (23/7).

Ada puluhan rumah di Dusun Keron yang sejak tanggal 21 Juli hingga 24 Juli 2016  ramai diinapi secara gratis oleh tamu-tamu dari luar desa. Tamu-tamu itu datang dari berbagai tempat. Ada yang dari Magelang, Yogyakarta, Solo, Sukoharjo, Jakarta, Bandung, hingga Palembang. Sejumlah turis mancanegara juga tampak. Sama, mereka juga menginap dan berbaur di rumah-rumah warga.

Di dusun yang terletak 1.000 meter di atas permukaan laut itu, mereka mempunyai tujuan sama. Apalagi kalau tidak menikmati pesta seni orang-orang gunung; Festival Lima Gunung. Festival di Dusun Keron ini merupakan pesta tahunan yang ke-15.

Sebuah festival yang digelar oleh komunitas seniman petani yang berasal dari desa-desa di lima lereng gunung yang mengelilingi Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Karena itu kumpulan pelaku seni ini menyebut dirinya Komunitas Lima Gunung.

Ini festival swadaya. Tak ada spanduk, baliho, umbul-umbul, maupun banner raksasa instansi. Apalagi promosi dari perusahaan barang dan jasa layaknya sebuah festival seni orang-orang kota. Di tengah kesibukan menggarap ladang, bekerja di sawah, ataupun mencari berjumput rumput untuk ternak, para petani lah yang sibuk menyiapkan semua itu.

Ada 50 kelompok seni yang tampil selama empat hari. Mulai tarian dan musik, baik tradisional maupun kontemporer, seni instalasi alam, kirab budaya, seni rupa, prosesi ritual, hingga pidato kebudayaan. Pementas tak hanya kelompok-kelompok seni dari desa-desa di Magelang, tapi juga dari sejumlah kampus dan grup kesenian dari Semarang, Yogyakarta, Solo, bahkan Bandung.

Pementasan dipusatkan di dua panggung sederhana berkonstruksi bambu, kayu, dan berhias jerami. Deretan tempat duduk dari bambu dihias dengan anyaman daun kelapa digelar di depan panggung. Sebuah gunungan setinggi 15 meter berbahan bambu dan berhias jerami dipasang di belakangnya. Di beberapa sudut dusun dirangkai penjor-penjor bambu dan jerami.

Di teras panggung diletakkan sebuah instalasi berupa rangkaian singkong, yang merupakan simbol representasi tema festival kali ini, Pala Kependem, yang artinya segala jenis tanaman ubi-ubian yang bertunas dan tumbuh dari dalam tanah.

“Ubi adalah tanaman asli nusantara. Dia menandakan tanah kita yang subur. Memberi penghidupan dan membentuk peradaban kita sejak dahulu kala,” ujar Sutanto Mendut (62), budayawan Magelang, sekaligus pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung.

Dan begitulah, selama empat hari itu, orang-orang gunung berpesta. Ribuan orang setiap hari memadat di depan panggung, menyemut di jalan-jalan kampung. Festival ini bukanlah parade pentas untuk mengejar yang teragung. Bukan pula layaknya sebuah reality show di televisi untuk menghadirkan siapa pementas yang paling memukau.

Penampil-penampil dari gunung menyuguhkan seni apa yang mereka suka, bisa, dan biasa unjukkan. Ada keindahan, kekompakan, dan semangat menghadirkan yang terbaik yang mereka mampu, namun tak sedikit pula kesalahan-kesalahan.

“Di sini salah itu biasa. Justru itu bisa menjadi hiburan tersendiri bagi penonton. Salah sekali nggak sengaja, salah dua kali biasa, salah terus berarti sudah hobi…ha..ha..ha,” kata Sekartaji, seorang seniman asal Yogyakarta yang turut berpentas di festival ini.

Romantisme Dusun

Sementara, orang-orang kota berdatangan menikmati romantisme, keramahan, dan kebersahajaan desa di antara keriuhan pentas kesenian. Mereka bertemu dan berinteraksi dalam sebuah momen yang lebih mirip sebagai jambore.

Keramahan desa menyambut orang-orang luar itu layaknya saudara. Kehangatan yang apa adanya. Membuka lebar-lebar pintu rumah mereka untuk diinapi. Menghela tudung nasi dengan lauk pauk terbaik mereka untuk orang-orang yang sebelumnya, bahkan, nama dan wajahnya tak pernah mereka ketahui.

Mereka, tamu-tamu dan tuan rumah itu, bercengkrama di beranda sambil mengudap ubi rebus dan meminum bercangkir-cangkir kopi atau teh layaknya kawan lama yang berpuluh purnama tak bersua. Menyesap suka dalam balutan udara dingin gunung yang meraung.

Dodog Soesena, seorang pengajar seni murni dari Universitas Utrecht, Belanda, yang selama tiga hari mengikuti festival ini, mengatakan, seumur hidupnya mendalami dan meneliti seni, baru kali tersebut melihat bagaimana warga dan seni begitu saling menghidupi. Dia mengaku terharu.

“Setahu saya, belum ada di tempat lain hal seperti ini. Penuh kesedarhanaan, orang-orang dengan raut suka membuat festival dan bergembira bersama. Menyambut tamu-tamu dengan segala keramahan yang mereka bisa,” ungkap Dodog.

Ya, ini adalah Festival Woodstock versi orang-orang gunung yang nyeni. Di mana, pentas seni adalah satu hal, sementara pertemuan, interaksi, tawa, dan gembira bersama di antara orang-orang, yang bahkan, tak saling kenal, adalah hal lain yang menjadi atmosfirnya. Ini bukan pesta seni yang megah, tapi adiluhung dengan sendirinya. (naskah dan foto: Mohamad Burhanudin-penulis lepas dan penikmat seni, tinggal di Yogyakarta/Heti Palestina Yunani)

*Artikel ini tayang di Padmagz.com dengan judul Festival Lima Gunung; Pesta Adiluhung Orang-orang Gunung

Scroll to Top